Di download dari : www.cimbuak.net
Disadur oleh: Dewis Natra
Sumber : Buku Curaian Adat Minangkabau
Penerbit : Kristal Multimedia Bukittinggi
Written by Ibrahim Dt. Sangguno Dirajo
Friday, 06 August 2004
(ARA st Rangakayomulia; bbrp kalimat, nama tempat dan nama orang diganti dengan bahasa minang)
Dewasa ini sangat minim sekali informasi mengenai adat yang kita dapati, seringkali kita mendengar Tambo alam Minangkabau, tapi kita tidak tahu seperti apa isi tambo itu sebenarnya. Begitu juga dengan adat Minangkabau seperti apa adat tersebut. Mulai dari tulisan ini kami dari admin akan memuat tulisan dari Ibrahim Dt. Sangguno Dirajo dalam bukunya Curaian Adat Minangkabau. Serta ucapan terimakasih kepada penerbit Kristal Multimedia Bukittinggi yang telah berkenan memberi ijin untuk menyadur isi buku tersebut.
Sedikit tentang penulis Ibrahim dilahirkan di sungayang Sumatera Barat pada tahun 1958.
Pendidikan dimulai di Sekolah Government di Batusangkar, tamat tahun 1968. Pada tahun 1970 beliau menjadi juru tulis Tuanku Titah di Sungai Tarab. Tuangku ini ahli dibidang adat Minangkabau. Maka saat itu beliau tertarik dan memperdalam pengetahuan dibidang Adat Minangkabau sehingga beliau diangkat menjadi Penghulu Andiko pada tahun 1913 dengan gelar datuak Sangguno Dirajo.
Dalam tulisan alam Minangkabau akan dimuat berseri. Semoga hal ini bermanfaat bagi pembaca.
I. Pulau Andalas
Menurut bunyi Tambo Alam Minangkabau, adapun orang yang pertama datang mendiami pulau andalas adalah niniak kita Sri Maharajo Dirajo namanya.
Beliau datang datang kemari dari tanah besar Voor Indie, tanah Rum kata orang tua tua, dan beliau kesini bersama dengan ke enambelas orang laki laki perempuan dari kasta Cateri. Selain itu dibawanya juga Kucing Hitam, Harimau Campo, Kambing Hutan dan Anjing Mu’alam.
Dikatakan Kucing Hitam, Harimau Campo dan lain lainnya itu, sekali kali bukanlah bangsa binatang, tetapi manusia biasa juga. Mereka dijuluki dengan nama nama seperti itu sesuai dengan tingkah laku dan perangai mereka. Semuanya perempuan dan dipelihara oleh niniak Maharajo dirajo seperti memelihara anaknya sendiri.
Niniak Sri Maharajo dirajo berlayar dari tanah besar itu dengan sebuah perahu kayu jati. Mula mula mereka berlayar melalui pulau Jawa yang saat itu belum terlihat tanah pulau Jawa itu. Yang tampak hanya puncak gunung Serang dan dipulau itu perahu beliau tertumpuk batu karang sehingga mengalami kerusakan dan tidak bisa melanjutkan perjalanan. Pada saat itu menitahlah niniak Sri Maharajo dirajo kepada mereka yang berada diatas kapal itu "Barangsiapa yang dapat memperbaiki kapal ini seperti sediakala, akan hamba ambil sebagai menantu"
Mendengar titah itu beberapa cerdik pandai segera berunding, mencari akal agar dapat memperbaiki perahu itu. Maka dengan karunia Allah, maka lima orang tukang segera bekerja dan kapal itu dapat diperbaiki kembali. Sri Maharaja merasa senang dan suka hati serta memuji kepandaian para tukang tersebut.
Kemudian perjalanan dilanjutkan sampai pada suatu kektika mereka melihat sebuah gosong tersembunyi di dalam laut. Tergilang gilang kelihatan dari jauh kira kira sebesar telur ayam, hilang timbul dilamun ombak.
Setelah sampai disitu kiranya ada tanah lebar dengan datarannya, berlabuhlah niniak Sri Maharajo dirajo diatas gosong itu. Gosong itu adalah puncak gunung merapi yang sekarang ini. Disanalah berdiam niniak Sri Maharajo dirajo bersama dengan para pengikutnya. Itulah niniak kita yang mula mula mendiami pulau Andalas ini, hingga menjadi juga oleh yang tua tua dengan memakai pantun ibarat :
Dima mulonyo tabik palito
Dibaliak tanglun barapi
Dima mulonya niniak kito
Iolah di puncak gunuang Marapi
Kata orang yang menceritakan, tatkala niniak Sri Maharajo dirajo berada di puncak gunung Merapi itu beliau berdo'a supaya disusutkan air laut.
Dengan karunia Tuhan air laut semakin hari semakin susut juga dan bertambah lebar tanah daratan sehingga nyatalah tempat tempat itu adanya diatas gunung yang sangat besar.Kata sahibulhikayat, takkala beliau masih berdiam dipuncak gunung itu, dengan takdir Tuhan orang orang yang bernama Kucing hitam, Harimau campo, Kambing hutan dan Anjing Muk Alam masing masing melahirkan seorang anak perempuan. Begitu pula istri Niniak Sri Maharajo dirajo melahirkan seorang anak perempuan pula. Sekalian semua anak itu dipelihara oleh niniak Sri Maharajo dirajo dengan kasih sayang yang tiada dibedakan. Kemudian kelak setelah anak anak itu besar, mereka dinikahkan dengan 5 tukang yang memperbaiki kapal tadi.
II. Galundi Nan Baselo dan Guguak Ampang
Setelah beberapa lama mereka berdiam dipuncak gunung itu, air laut sudah berangsur susut juga dan bertambah besar juga tanah daratan, maka sekalian orang itu berpindah kesebuah lekung dipinggang gunung Merapi itu.
Oleh Sri Maharajo dirajo tempat itu diberi nama Labuhan Sitembaga. Disitulah pada masa dahulu ada Sirangkak nan Badangkang. Disitu pula untuk pertama kalinya orang menggali sumur untuk tempat mandi dan tempat mengambil air minum, karena disekitar tidak ada air tawar, yang ada hanya air laut.
Selanjutnya mereka membuat sepiring sawah bernama sawah satampang baniah. Disebut setampang benih karena dengan padi yang setampang itu sudah mencukupi untuk makan orang disaat itu, karena mereka belum banyak. Padi itu pula menjadi asal padi yang ada sekarang. Sepanjang cerita orang tua tua.
Lama kelamaan tumbuh pula Lagundi nan Baselo, air laut bertambah susut juga dan daratan bertambah luas, maka Cateri Bilang Pandai mencari tanah yang lebih baik untuk mereka huni.
Ditemukan sebuah guguk disebelah kanan dari Lagundi nan Baselo tadi, dan sekalian orang yang berada di Lagundi nan Baselo berpindah ke ketempat baru itu. Tempat itu diberi nama oleh niniak Sri Maharajo dirajo serta Cateri Bilang Pandai dengan nama Guguak Ampang.
III. Nagari Pariangan dan Padang Panjang
Tidak berapa lama antaranya, orang orang yang menetap di Guguak Ampang berpindah pula dengan membuat setumpak tanah yang datar di baruh Guguak Ampang itu.
Tanah disini lebih baik daripada tanah di Ampang Gadang. Mereka pun berbondong bondong membuat tempat tinggal ditempat yang baru ini dan oleh niniak Sri Maharajo dirajo beserta Cateri Bilang Pandai tempat ini diberi nama Perhurungan. Guguak Ampang tadi pada saat ini bernama kampung Guguak Ateh. Lama kelamaan orangpun bertambah kembang juga, dan kampung Perhurungan bertambah maju. Orang semakin hari semakin riang pula.
Atas prakarsa niniak Sri Maharajo dirajo beserta cerdik pandai masa itu, dibuat semacam permainan anak negeri seperti Pencak Silat, Tari Payung dan bermacam peralatan untuk gong dan talempong, gendang, serunai rabab, kecapi dan lain lain sehingga menjadikan orang bertambah riang juga disetiap waktu.
Suasana masyarakat yang selalu dalam keadaan riang itu, menimbulkan keinginan dari niniak Sri Maharajo dirajo dan Cateri Bilang Pandai untuk menganti nama kampung menjadi Pariangan.
Kemudian karena bertambah kembang juga, seorang hulubalang niniak Sri Maharajo dirajo pergi membuat tempat tinggal dekat sebuah batu besar disuatu tanah disebelah kanan pariangan. Karena tempat itu baik pula, berdatangan orang pariangan membuat tempat tinggal disitu.
Lama kelamaan tempat itu menjadi sebuah kampung yang ramai pula. Oleh Cateri Bilang Pandai kampung itu diberi nama Padang Panjang. Sebab yang pertama sekali menemukan daerah itu adalah hulubalang yang menyandang gelar Pedang nan Panjang. Kampung Pariangan dan Padang Panjang semakin hari semakin ramai, dan kedua kampung ini dibawah hukum niniak Sri Maharajo dirajo.
Pada suatu hari bermusyawarahlah segala isi kampung Pariangan dan Padang Panjang untuk mendirikan sebuah Balairung tempat raja duduk menghukum (memerintah) beserta orang besar lainnya Datuak Suri Dirajo, Cateri Bilang Pandai yang bernama Indra Jati. Balairung itu didirikan didalam kampung Pariangan, dihiasi dengan lapik lalang.
Ruangan hanya sebuah saja sehingga sampai saat ini disebut orang Balai Saruang. Disitulah tempat niniak Sri Maharajo dirajo dan orang orang besarnya menghukum waktu itu.
bersambung, insyaallah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar