Reformasi politik telah membawa banyak perubahan. Antara lain membuka peluang yang semakin besar bagi warga negara untuk dipilih sehingga menambah alternatif pilihan bagi para pemilih. Salah satunya yang belakangan banyak mendapat sorotan adalah masuknya kalangan artis ke dunia politik praktis.
Sebenarnya fenomena ini bukanlah hal yang baru, telah lama artis diajak oleh parpol untuk menjadi anggota legislatif maupun hanya sebagai jurkam untuk mendulang suara rakyat. Namun reformasi telah membuka pintu lebih lebar bagi artis untuk berpolitik praktis. Dengan sistem pemilihan langsung, sekarang artis tidak hanya menjadi jurkam atau caleg, beberapa telah menggunakan haknya sebagai warga negara untuk dipilih sebagai pemimpin daerah, mereka ikut berkompetisi memperebutkan kursi kepala daerah, bahkan ada yang berhasil meraih suara terbanyak.
Tidak mengherankan, karena sebagai artis, mereka telah melakukan “kampanye” sekian tahun melalui hasil karya seni. Wajah mereka telah familiar dimata pemilih, walaupun kadang pemilih tidak mengenal nama aslinya. Misalnya para pemilih hanya tahu si doel, oneng atau iklan obat. Tidak dapat dipungkiri bahwa popularitas masih menjadi faktor penentu pilihan rakyat. Tidak banyak rakyat yang mau menyediakan waktu dan pikirannya untuk menganalisa atau sekedar tahu track record sang calon.
Sebenarnya tidak ada hal yang perlu dipermasalahkan karena artis juga manusia Indonesia yang mempunyai hak untuk dipilih. Karena pekerja seni adalah sebuah profesi, sama seperti profesi lain seperti dokter, akuntan, petani, pedagang dll. Tapi kenapa banyak orang yang sepertinya “keberatan” dengan fenomena ini? Mungkin tidak ada faktor tunggal, banyak hal yang menyebabkan orang berkesimpulan bahwa artis tidak layak untuk menjadi pejabat negara / daerah. Imej gaya hidup artis yang hura-hura, kawin cerai, modal popularitas doang dll. (sekarang dah ketauan kalo pejabat lebih parah lagi ya...)
Padahal, perkara hura-hura dan kawin cerai tidak hanya dominasi artis, hal yang bisa terjadi pada rakyat biasa, kita bisa lihat di sekeliling kita, bedanya adalah kehidupan artis diberitakan oleh media secara masif sepanjang hari.
Modal popularitas, ini merupakan modal yang besar dan beberapa artis telah melengkapinya dengan pendidikan formal dan pengalaman organisasi dengan menjadi “kader aktif” dari sebuah partai, sebagian bahkan meninggalkan dunia artisnya untuk konsentrasi di politik.
Tapi masih saja ada suara miring yang meremehkan kontribusi artis dalam berdemokrasi. Suara-suara tersebut tidak dapat sepenuhnya disalahkan karena dari sejumlah artis yang terpilih menjadi anggota legislatif ternyata tidak “bersuara” ketika di parlemen atau dari artis yang nyalon dalam pilkada ternyata ada yang belum punya track record sebagai pemimpin / organisator. Hal ini berimbas kepada artis yang benar-benar mempunyai kemampuan, yang bahkan meninggalkan dunia ke-artis-annya.
Bisa disimpulkan beberapa hal yang menyebabkan penilaian tersebut:
1. Pemberitaan yang tidak berimbang mengenai kehidupan artis.
Media cenderung memberi porsi yang besar untuk berita yang negatif dan bernilai sensasional, sementara berita yang mendidik justru tidak begitu mendapat tempat. Berita perceraian diekspos menjadi demikian heboh sementara pembahasan rumah tangga artis yang harmonis seperti tidak menarik. Atau pemberitaan artis yang yang merayakan wisuda sarjananya kalah menarik dari berita perayaan ulang tahun mewah.
2. Terkait dengan poin 1 diatas, pemberitaan pun dilakukan sepanjang hari menjejali pikiran penonton yang memang sudah suka gosip.
3. Hal tersebut diatas tidak terlepas dari sikap masyarakat yang cenderung men-generalisir permasalahan, cenderung menyamaratakan perilaku seseorang sebagai perilaku umum semua orang di kelompoknya, celakanya yang menjadi perhatian hanya perilaku yang negatif, sementara perilaku positif tidak pernah mendapat perhatian.
So, mari berpikir secara positif dan objektif. Benarkah artis tidak memiliki kualitas untuk menjadi pemimpin? Apakah popularitas sudah menjamin kualitas? Bahwa dalam mencari seorang pemimpin atau wakil rakyat yang dibutuhkan adalah komitmen untuk melayani rakyat yang dapat dinilai dari apa yang akan dilakukannya untuk rakyat (visi dan misi) jika terpilih, namun yang lebih penting adalah apa yang telah dilakukannya untuk rakyat (track record) selama ini.
ARA rangkayomulia
1 komentar:
Tidak ada deskriminasi bagi siapapun untuk ikut dalam percaturan politik di indonesia, semua warga negara mempunyai hak berpolitik yang sama. Fenomena yang merebak di kalangan artis untuk berbondong bondong terjun ke kancah politik pun adalah hal yang biasa dan tidak harus di khawatirkan, seperti yang di ungkap di atas "artis juga manusia". Namun demikian harus kita cermati bahwa Politik bukan masalah popularitas belaka, politik mencakup segala aspek dalam kehidupan bermasyarakat. Seorang pemimpin yang dipilih melalui mekanisme politik hendaknya mempunyai kwalitas sebagaimana yang dibutuhkan pada level kepemimpinannya. Sudah barang tentu halini dapat dilihat dari track recordnya, tidak dalam waktu yang relatif sangat singkat. Sayangnya belum banyak masyarakat kita yang menyadari akan hal itu atau mungkin juga mereka dibutakan dengan "Popularitas" tersebut. kalau boleh saya berpendapat serahkanlah kepada ahlinya. Kita tidak mungkin menyerahkan pekerjaan kayu kepada tukang batu demikian juga sebaliknya, walaupun hal itu bisa tetapi akan tampak perbedaan.
Demikian, Mari kita jadikan indonesia tempat yang lebih baik.
Jld.St.Barbanso
Posting Komentar